SEJARAH BANJAR GETAS LOANG TUNA
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Atas rahmat dan karunia Allah SWT, saya bersyukur dapat menyusun catatan sejarah mengenai awal terbentuknya Gubuk Loang Tuna. Penulisan ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan bahwa sebagian besar masyarakat, khususnya generasi muda, saat ini kurang mengetahui sejarah dusun atau desanya sendiri.
Akan menjadi suatu kebanggaan tersendiri apabila kita, sebagai masyarakat asli, mengenal dan memahami asal-usul desa atau gubuk tempat kita tinggal. Sejarah bukan sekadar kisah masa lalu, tetapi juga cermin kehidupan para pendahulu yang penuh hikmah dan nilai-nilai luhur yang patut dijadikan pelajaran.
Saya menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi isi maupun kelengkapan sumber. Keterbatasan ini terutama disebabkan oleh minimnya data tertulis dan banyaknya tokoh-tokoh tua atau sesepuh masyarakat yang telah wafat. Namun demikian, saya sangat bersyukur karena masih ada sejumlah warga setempat yang bersedia menjadi narasumber terpercaya, yang menceritakan kisah-kisah secara lisan, sehingga tulisan ini dapat tersusun.
Harapan saya, semoga karya sederhana ini dapat bermanfaat bagi pelajar muda sebagai referensi sejarah lokal, dan ke depannya bisa direvisi serta disempurnakan agar lebih valid, terpercaya, dan diterima di kalangan masyarakat luas.
Saya menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para narasumber yang telah memberikan informasi yang telah memberikan informasi berharga, yaitu:
Bapak Muhammad (Kepala Desa Banjar Sari), H. Jamaluddin Nur, Amaq Yadi / Udin, Amaq Mahla / Nuriah, Amaq Sirwan / Napsiah, Nasrul Hamdi, S.Pd (Kepala Dusun Banjar Getas), Rizal Efendi, S.Pd.I, Amaq Agus, Almarhum Amaq Mustirin (Teros), Guru Hamidi (Guru SDN 1 Teros)
Semoga tulisan ini dapat menambah khazanah pengetahuan tentang sejarah lokal kita. Terima kasih atas segala dukungan dan partisipasi semua pihak.
Loang Tuna, 28 Maret 2015
Penulis,
Abdul Hayyi, S.Pd.I
A. Sejarah Singkat Dusun Banjar Getas, Loang Tuna
Gubuk Banjar Getas di wilayah Loang Tuna pertama kali dibuka dan dihuni oleh seorang warga asli Desa Teros bernama Amaq Ainadi, bersama istrinya Inaq Ayu yang berasal dari Geres. Amaq Ainadi dikenal sebagai seorang yang kaya raya, memiliki lahan persawahan yang cukup luas. Ia memutuskan untuk menetap di tempat tersebut guna menggarap sawahnya, yang oleh masyarakat setempat dikenal dengan sebutan "Memunik". Karena lahannya begitu luas, Amaq Ainadi kerap memberikan beberapa petak tanah sebagai hadiah kepada para "menak"—sebutan untuk orang-orang yang menjadi kaki tangannya dan turut membantunya mengelola sawah. Kebun yang dulunya sunyi, dingin, dan dipenuhi semak belukar yang tingginya mencapai sebatang tombak serta ilalang, perlahan-lahan mulai berubah menjadi tempat hunian. Beberapa orang mulai membangun "bale tanjek" (bangunan pelataran sederhana) untuk dijadikan tempat tinggal. Seiring waktu, jumlah penduduk bertambah karena adanya keturunan dan pendatang baru. Akhirnya, wilayah yang awalnya hanya sebuah kebun menjadi sebuah permukiman yang kini dikenal sebagai Gubuk Banjar Getas.
B. Kepercayaan Masyarakat Banjar Getas
Banjar Getas adalah sebuah gubuk kecil yang terletak di wilayah Dusun Loang Tuna. Di sana terdapat sebuah mata air, yang oleh masyarakat setempat dikenal dengan sebutan “Pengembulan”, letaknya di tengah kebun. Menurut kepercayaan warga, tempat tersebut diyakini sebagai tempat berdiamnya makhluk gaib, dan sering terjadi kejadian-kejadian mistis di sekitarnya.
Konon, nama Banjar Getas sendiri berasal dari tempat orang-orang dahulu berkumpul untuk melakukan pemujaan terhadap makhluk halus atau jin gaib yang dianggap menghuni kawasan itu. Pengaruh budaya Hindu yang masuk ke daerah ini membawa kebiasaan ritual penyembahan, yang dikenal pada masa itu dengan sebutan "Belangon". Orang-orang dari berbagai pelosok daerah, termasuk Bali dan beberapa wilayah di Lombok, datang ke tempat ini untuk melakukan upacara persembahan. Di sekitar mata air, bahkan dibangun sebuah pura sebagai tempat persembahan suci. Upacara-upacara tersebut biasanya dipimpin oleh para sesepuh, tokoh masyarakat, dan disaksikan oleh warga sekitar. Mereka membawa bermacam-macam sesaji sebagai bagian dari prosesi. Pada masa itu, masyarakat belum mengenal ajaran Islam, sehingga kepercayaan kepada pohon-pohon besar, batu-batu keramat, dan sumber mata air sangat kuat. Salah satu bentuk ritual yang dilakukan adalah “Ngamben-amben”, yaitu penyembahan terhadap benda-benda alam di sekitar Pengembulan.
Dikisahkan pula bahwa seorang Ahlul Bait bernama Sayyid Bakar (Sisik) sering mengunjungi tempat ini untuk mengadakan pertemuan khusus dengan para alim ulama lainnya. Namun, tanpa disadari, masyarakat mulai meyakini bahwa tempat ini juga bisa digunakan untuk meminta berbagai macam ilmu, seperti ilmu pengasih, ilmu kebal, dan sebagainya. Dari berbagai cerita turun-temurun, penghuni gaib di tempat ini kerap menampakkan diri kepada orang-orang tertentu, bahkan ada yang mengaku pernah diajak berkomunikasi langsung. Beberapa saksi mata menyatakan bahwa makhluk-makhluk gaib itu merupakan pasukan bersenjata, bertubuh tinggi dan kekar, berkulit hitam gelap, serta memiliki bulu lebat di tangan. Sedangkan penghuni yang berada di Pengembulan Kokok Bat digambarkan sebagai sosok berpakaian putih bersih, menyerupai seorang haji. Pada waktu-waktu tertentu, masyarakat juga melaporkan penampakan ikan tuna berukuran besar di mata air, yang berbeda dari ikan tuna biasa. Menurut kepercayaan warga, ikan-ikan tersebut merupakan jelmaan dari jin penghuni mata air. Dari situlah muncul nama Loang Tuna, yang berasal dari kebiasaan masyarakat mengelu-elukan dan menyembah penghuni gaib tersebut. Karena seringnya terjadi hal-hal mistis, masyarakat pada zaman dahulu tidak berani sembarangan mengambil benda dari sekitar tempat itu—baik berupa batu, pohon, maupun makhluk hidup seperti ikan, udang, atau tuna. Mereka percaya bahwa tindakan seperti itu dapat menimbulkan penyakit, kejang-kejang, bisu, bahkan kerasukan. Untuk itu, masyarakat biasa mengadakan ritual penaruh sesaji, dengan maksud mencari kesembuhan, menyatakan rasa syukur, atau memohon hajat tertentu.
Hingga suatu ketika, datanglah seorang pendatang bernama Sayyid Abdurrahman Al-Gadri, atau dikenal sebagai Abah Nur. Beliau adalah seorang pelajar asal Sumba yang sedang menuntut ilmu di Pancor. Saat berkunjung ke Loang Tuna, beliau mulai mendengar berbagai desas-desus tentang tempat keramat ini... Kepercayaan masyarakat terhadap benda-benda gaib (animisme) pada masa itu berkembang cukup kuat. Masyarakat terbiasa melakukan ritual terhadap pohon, batu, dan tempat-tempat yang dianggap keramat, termasuk mata air (pengembulan) yang diyakini sebagai tempat bersemayam makhluk halus. Tradisi ini telah berlangsung lama, dan menjadi bagian dari kehidupan spiritual warga. Namun, perubahan besar mulai terjadi ketika datang seorang pelajar dari Sumba yang sedang menuntut ilmu di Pancor, yakni Sayyid Abdurrahman Al-Gadri, seorang Ahlul Bait yang dikenal memiliki pengetahuan agama yang mendalam. Melihat kondisi masyarakat Loang Tuna yang masih menyimpang jauh dari ajaran Islam dan sangat minim pendidikan, beliau memutuskan untuk tinggal di sana sebagai muballigh yang bertugas mengajar dan membimbing masyarakat dalam hal agama. Dengan penuh kesabaran, beliau mulai mengajarkan dasar-dasar ajaran Islam dan secara perlahan menghapus tradisi memohon berkah kepada selain Allah SWT. Beliau menegaskan bahwa penyembahan terhadap benda-benda seperti pohon, batu, atau roh halus adalah praktik yang menyerupai perbuatan orang-orang kafir. Keberaniannya begitu besar hingga beliau sendiri yang merusak dan menghancurkan pura—tempat masyarakat biasa melakukan pemujaan. Hebatnya, tidak seorang pun berani melarang atau menentang tindakan beliau, karena masyarakat mulai menyadari kebenaran yang beliau sampaikan. Sejak kedatangannya, Sayyid Abdurrahman Al-Gadri pun diangkat sebagai guru agama. Ajaran-ajaran beliau cepat dipahami dan diterima masyarakat, hingga nama beliau dikenal luas, bahkan ke pelosok desa lainnya. Murid-murid beliau datang dari berbagai tempat, seperti Kembang Kuning, Paok Pampang, Labu Aji, Lengkok Timba Lindur, dan Montong Meong. Beliau pun rutin mengisi pengajian di desa-desa tersebut, selalu diiringi oleh sejumlah muridnya. Pengaruh beliau semakin meluas ketika mulai mengajak masyarakat untuk membaca Hizib Nahdlatul Wathan, sebuah amalan yang pada masa itu sangat dikenal di kalangan pengikut Tuan Guru Syekh Zainuddin Abdul Majid (Pancor). Karena peran besar Sayyid Abdurrahman dalam menyebarkan ajaran Islam, Syekh Zainuddin Abdul Majid pun sering berkunjung ke Masjid Loang Tuna dan membuka pengajian di sana. Beliau bahkan pernah berkata di hadapan para jamaah:

Kedekatan dan penghormatan Syekh Zainuddin terhadap Sayyid Abdurrahman semakin menegaskan peran penting beliau dalam transformasi spiritual masyarakat Loang Tuna.
Tak hanya itu, Sayyid Abdurrahman Al-Gadri juga dikenal sebagai saudara dari Sayyid Usman Al-Gadri, dan keduanya adalah murid langsung dari Syekh Zainuddin Abdul Majid. Karena pengabdiannya yang luar biasa di Loang Tuna, masyarakat pun menunjukkan rasa hormat mereka dengan membangun sebuah gedeng (rumah) sebagai tempat tinggal Sayyid Abdurrahman, tepat di depan mimbar masjid. Di kemudian hari, saat Sayyid Abdurrahman kembali berkunjung ke dusun kecil ini, beliau menyampaikan rasa syukur dan bangganya:
“Sekarang masyarakat Loang Tuna telah berhasil. Mereka mampu memberikan pendidikan yang layak kepada anak-anaknya sebagai cikal bakal generasi penerus.”
Dan benar adanya, hari ini Loang Tuna dikenal sebagai dusun yang melahirkan banyak sarjana. Sebuah warisan perjuangan dan pendidikan yang dimulai dari keikhlasan seorang ulama untuk tinggal dan berjuang di tengah masyarakat yang dulu buta pendidikan agama.
C. Perkembangan Pendidikan di Loang Tuna
Sekitar tahun 1950-an, kondisi ekonomi masyarakat Loang Tuna masih tergolong sulit. Sebagian besar warga bekerja sebagai buruh dengan penghasilan pas-pasan, sehingga banyak di antara mereka tidak mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Meskipun begitu, sebuah langkah besar telah dimulai dengan dibangunnya Sekolah Dasar pertama di Loang Tuna pada tahun 1948, yang menjadi tonggak awal pendidikan formal bagi anak-anak di desa ini. Di tengah keterbatasan itu, ada satu hal yang sangat disyukuri oleh masyarakat, yaitu hadirnya pendidikan non-formal dalam bentuk Madrasah Diniyah.
Tempat ini menjadi pusat pembelajaran ilmu agama yang sangat penting pada masa itu. Para santri belajar mengaji Al-Qur’an dan mempelajari berbagai disiplin ilmu keislaman seperti: Ilmu Fikih, Matan Sanusi (Tauhid), Sirah Nabawiyah (Sejarah Nabi Muhammad SAW), Tajwid dan Imlaq, Hadis Arba'in Nawawiyah, Ilmu alat seperti Nahwu, Sharaf, Mantiq, Bayan, dan berbagai cabang tata bahasa Arab lainnya.
Semua pelajaran ini diajarkan di Madrasah Al-Ikhwanussofa, yang didirikan pada tahun 1953 oleh Sayyid Abdurrahman Al-Gadri (Abah Nur) bersama saudaranya Sayyid Usman Al-Gadri (Abah Alwi). Keduanya tidak hanya menjadi penggagas dan pendiri, tetapi juga langsung terlibat sebagai pengajar dan pembimbing utama.
Selain mereka berdua, madrasah ini juga dibantu oleh sejumlah ustaz yang berasal dari berbagai daerah, di antaranya:
Ustaz Yusuf, Ustaz Holib, Ustaz Gani (asal Sumba), Ustaz Muhammad dan Ustaz Sahirudin (asal Peneda Gandor).
Peran madrasah ini sangat besar dalam mencerdaskan dan menanamkan nilai-nilai keislaman kepada generasi muda Loang Tuna pada waktu itu. Meskipun sederhana dari segi fasilitas, Madrasah Al-Ikhwanussofa telah menjadi pondasi utama perkembangan pendidikan agama di desa ini, dan menjadi cahaya penerang di tengah keterbatasan.
D. Perkembangan Pemerintahan di Wilayah Loang Tuna dan Desa Teros
Dalam sejarah pemerintahan lokal, Desa Teros pernah berada di bawah kepemimpinan seorang tokoh penting bernama Jero Sandi, yang dikenal sebagai pemimpin visioner dan berwibawa. Di bawah kepemimpinannya, Desa Teros mengalami kemajuan yang cukup pesat. Wilayah-wilayah pegubukan yang dulunya terpisah-pisah kemudian disatukan menjadi satu kesatuan wilayah wilayah administratif yang dikenal hingga kini dengan nama Desa Teros.
Seiring dengan perkembangan zaman, wilayah Desa Teros diperluas lagi dengan memasukkan beberapa gubuk atau dusun baru seperti Dasan Sawe, Kembang Kuning, dan Loang Tuna. Penggabungan wilayah ini memperluas cakupan pemerintahan dan memperkuat identitas desa secara sosial dan administratif.
Setelah wafatnya Jero Sandi, sempat terjadi kekosongan kepemimpinan. Dalam situasi tersebut, Anak Agung Murah, yang kala itu menjabat sebagai Raja Lombok, turun tangan untuk mengisi kekosongan tersebut. Beliau menunjuk Jero Mengkudu, seorang tokoh dari Desa Labuhan Haji, untuk menjadi Kepala Desa Teros yang baru. Saat diangkat, Jero Mengkudu sebenarnya masih menjabat sebagai Kepala Desa Labuhan Haji—sebuah wilayah yang pada waktu itu memiliki jumlah penduduk yang sangat sedikit, tetapi memiliki lahan pertanian yang sangat luas, mencakup daerah Labuhan Haji, Loang Sawak, Timba Lindur, hingga Dasan Pungkang.
Sepeninggal Jero Mengkudu, jabatan Kepala Desa Teros dilanjutkan oleh putranya, Jero Nursayang. Dalam menjalankan tugasnya, Jero Nursayang didampingi oleh seorang tokoh agama yang sangat dihormati masyarakat, yakni Guru Durasyit. Guru Durasyit dikenal sebagai sosok yang arif dan bijaksana, serta memiliki peran besar dalam membina masyarakat dalam bidang keagamaan. Sebagai bentuk penghargaan
atas jasa-jasanya, nama beliau kemudian diabadikan sebagai nama masjid utama di Teros, yang kini dikenal dengan nama Masjid Nururrasyid.
a. Pemerintahan Desa Teros
Sejak berada di bawah pemerintahan Desa Teros, wilayah Loang Tuna dipimpin oleh beberapa tokoh masyarakat yang dikenal dengan sebutan Keliang (semacam Kepala Dusun/Kadus). Kepemimpinan ini berlangsung dari zaman pendudukan Jepang hingga masa pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto. Adapun tokoh-tokoh yang pernah menjabat sebagai Keliang di Loang Tuna antara lain:
a) Amaq Merah (Alm.)
Menjabat pada tahun 1940 – 1955, didampingi oleh Amaq Denep (Alm.) sebagai wakil.
b) Amaq Semah (Alm.)
Menjabat pada tahun 1955 – 1970, didampingi oleh beberapa wakil, yaitu:
Amaq Mahnep (Alm.)
Amaq Mahrin (Alm.)
Amaq Patah
c) H. Badaruddin (Alm.)
Menjabat pada tahun 1970 – 1985, dibantuoleh:
Amaq Su’ud (Alm.)
Amaq Mahnep (Alm.)
Perubahan Administratif: Kepala Dusun (Kadus) Seiring dengan perubahan kebijakan pemerintahan, sebutan Keliang diganti menjadi Kepala Dusun (Kadus). Dalam struktur baru, wilayah Loang Tuna terbagi menjadi dua dusun, yaitu:
Dusun Banjar Getas
Dusun Gubuk Masjid
Masing-masing dusun dipimpin oleh kepala dusun yang pernah dijabat oleh:
d) Masa Transisi Awal
Amaq Marhumah (Kadus Banjar Getas)
Amaq Syamsul Ikhwan (Kadus Gubuk Masjid)
e) Masa 2000–2005
Suriadi (Kadus Banjar Getas) — menjabat tahun 2000–2003
Pjs. Sumardi — menjabat sebagai pejabat sementara tahun 2003–2005
Zuhri, S.Ag (Kadus Gubuk Masjid) — menjabat tahun 2000–2005
f) Periode Selanjutnya
Mahinep (Kadus Banjar Getas)
Zuhri, S.Ag (melanjutkan sebagai Kadus Gubuk Masjid)
2. Pemerintahan Desa Banjar Sari
Desa Banjar Sari merupakan salah satu desa yang berada di wilayah administratif Kecamatan Labuhan Haji, Kabupaten Lombok Timur. Sebelumnya, desa ini merupakan bagian dari Desa Teros, yang kemudian mengalami pemekaran pada tahun 2009 menjadi dua desa, yaitu:
● Desa Teros
●Desa Banjar Sari
Keduanya dipimpin oleh kepala desa masing-masing. Desa Banjar Sari resmi berdiri sebagai desa mandiri pada tahun 2009. Sejak saat itu hingga kini, desa ini telah mengalami beberapa kali pergantian pimpinan. Adapun nama-nama pejabat dan kepala desa definitif yang pernah memimpin Desa Banjar Sari adalah:
▪︎ Drs. Zaitul Akmal
Menjabat sebagai Pejabat Kepala Desa dari 1 Desember 2009 sampai dengan 26 Oktober 2011.
▪︎ Asmiluddin, S.Sos., MH
Menjabat sebagai Pejabat Kepala Desa dari 27 Oktober 2011 hingga 9 Juli 2012.
▪︎ Muhammad
Menjabat sebagai Kepala Desa definitif mulai tanggal 10 Juli 2012 hingga sekarang.
Pembagian Wilayah Administratif Saat ini, Desa Banjar Sari terdiri dari 23 Rukun Tetangga (RT) yang tersebar di 5 (lima) kekadusan, yaitu:
▪︎ Kadus Dasan Sawe
▪︎ Kadus Sepakat
▪︎Kadus Pungkang
▪︎ Kadus Banjar Getas
▪︎ Kadus Gubuk Masjid
Dua dusun terakhir (Banjar Getas dan Gubuk Masjid) merupakan bagian dari wilayah Loang Tuna yang sebelumnya berada di bawah Desa Teros. Sejak pemekaran desa dan integrasi wilayah ke dalam Desa Banjar Sari, masing-masing dusun dipimpin oleh Kepala Dusun (Kadus) yang dipilih secara langsung oleh masyarakat melalui proses pemilihan dusun.
Adapun nama Kepala Dusun yang menjabat pasca integrasi wilayah ke dalam Desa Banjar Sari adalah:
g) Nasrul Hamdi, S.Pd. — Kadus Banjar Getas
Zuhri, S.Ag. — Kadus Gubuk Masjid
E. Bidang Lingkungan Hidup
Sejak dahulu, wilayah pegubukan Loang Tuna dikenal sebagai daerah yang makmur dan subur, terutama karena keberadaan sumber mata air yang disebut “Pengembulan”. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, mata air ini diyakini berasal dari Kokok Lingsar, sebuah sumber air yang dianggap keramat dan memiliki nilai historis maupun spiritual.Masyarakat sekitar sangat bergantung pada mata air ini untuk memenuhi berbagai kebutuhan sehari-hari, seperti mandi, minum, mencuci, serta sebagai sumber utama untuk mengairi sawah-sawah yang terletak di sekitar kawasan yang dikenal sebagai “Punik”.
Namun, beberapa tahun silam, mata air Pengembulan pernah mengalami kekeringan secara tiba-tiba. Penyebab pastinya tidak diketahui secara jelas, namun kejadian tersebut sempat menimbulkan kekhawatiran karena air yang biasanya mengalir ke masjid juga ikut mengering. Selang beberapa hari setelah kekeringan itu, masyarakat dikejutkan oleh suara ledakan keras yang berasal dari lahan kosong tak jauh dari lokasi mata air yang mengering. Warga pun berbondong-bondong datang menyaksikan peristiwa tersebut. Tanpa diduga, dari tanah tersebut muncul semburan air yang cukup deras dan kuat.
Menanggapi kejadian luar biasa ini, Keliang bersama warga setempat segera bergotong-royong membangun sebuah telaga untuk menampung semburan air baru tersebut. Sejak saat itu, telaga tersebut dikenal masyarakat dengan nama “Kokok Bat”, dan hingga kini tetap menjadi bagian penting dari kehidupan lingkungan di Loang Tuna.
F. Bidang Pembangunan
a. Pelebaran Tanah Pekuburan
Pada mulanya, masyarakat Loang Tuna tidak memiliki lahan pekuburan yang khusus dan memadai. Hal ini menyebabkan apabila ada anggota keluarga yang meninggal dunia, jenazah harus dimakamkan di wilayah perbatasan antara Loang Tuna dan Kembang Kuning, tepatnya di area yang dikenal dengan nama “Sendongan”.
Namun, karena jarak tempuh ke lokasi tersebut cukup jauh, masyarakat mulai merasa kesulitan, terutama saat menghadapi kondisi darurat pemakaman. Melihat situasi ini, sekitar tahun 1980, Keliang Loang Tuna pada waktu itu, yaitu Amaq Su’ud (almarhum) bersama para tokoh sesepuh masyarakat, menggagas sebuah inisiatif penting: membuka tanah pekuburan baru di wilayah Loang Tuna sendiri.
Gagasan tersebut disambut baik oleh masyarakat. Beberapa warga dengan niat ikhlas dan semangat kebersamaan bersedia mewakafkan sebagian tanah miliknya untuk dijadikan area pemakaman umum. Langkah tersebut menjadi titik awal penting dalam pembangunan sarana keagamaan dan sosial yang lebih representatif bagi masyarakat Loang Tuna.
B. Pembangunan Masjid
Dengan bertambahnya jumlah penduduk dan semakin padatnya permukiman, masyarakat Loang Tuna tetap mempertahankan rasa kebersamaan dan semangat gotong royong yang tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan inisiatif membangun masjid baru pada tahun 2007, sebagai bentuk kepedulian terhadap sarana peribadatan yang lebih layak dan representatif bagi seluruh warga.
Masjid lama yang selama bertahun-tahun tidak pernah mengalami renovasi, akhirnya digantikan dengan masjid baru hasil swadaya masyarakat. Proyek pembangunan ini digagas oleh para tokoh agama dan tokoh masyarakat, di antaranya:
▪︎ H. M. Syafi’i (almarhum)
▪︎ Amaq Syamsul Ikhwan
Para sesepuh dan pemuka masyarakat lainnya.
Masjid tersebut tetap mempertahankan nama aslinya yaitu Masjid Nurul Wathan, sebagaimana dinisbatkan langsung oleh Guru Besar TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid (Pancor). Nama itu diberikan ketika beliau masih aktif mengadakan pengajian di masjid tersebut pada masa lalu.
Dengan dibangunnya Masjid Nurul Wathan yang baru ini, masyarakat tidak hanya memiliki tempat ibadah yang representatif, namun juga memperkuat identitas spiritual dan budaya Islam di Loang Tuna.
c. Pembangunan Jalan Lingkar
Pada tahun 2013, Pemerintah Desa Banjar Sari berhasil melakukan pembebasan lahan berupa sawah milik warga untuk keperluan pembangunan jalan lingkar. Proyek ini mendapat dukungan penuh dari masyarakat, di mana sebagian warga dengan sukarela mewakafkan sebagian tanahnya. Hal ini sangat membantu percepatan pelaksanaan pembangunan yang telah lama diidamkan oleh masyarakat.
Tujuan utama pembangunan jalan lingkar ini adalah untuk:
Menghubungkan Dusun Loang Tuna dengan dusun di wilayah Kembang Kuning, sehingga memperlancar mobilitas warga antarwilayah.
Mempermudah akses transportasi hasil pertanian, mengingat sebagian besar masyarakat Loang Tuna berprofesi sebagai petani.
Meskipun pada saat itu pembangunan belum sepenuhnya rampung, namun proyek ini kembali dilanjutkan pada tahun 2015, yang mencakup:
Pembangunan jembatan penghubung.
Pembuatan saluran drainase (spal) di sepanjang jalan.
Perataan dan pengerasan jalur utama, agar dapat dilalui kendaraan pengangkut hasil panen.
Dengan terbangunnya jalan lingkar ini, aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat menjadi lebih lancar, dan wilayah Loang Tuna semakin terbuka secara infrastruktur menuju arah yang lebih maju.
_______________
Penutup
Sejarah adalah jembatan antara masa lalu dan masa depan. Menelusuri jejak perjalanan Desa Loang Tuna, dari masa penyebaran Islam, perjuangan para tokoh masyarakat, dinamika pendidikan, hingga pembangunan desa, memberi kita kesadaran bahwa setiap langkah kemajuan yang kita nikmati hari ini adalah buah dari kerja keras dan pengorbanan banyak orang yang tidak pernah lelah mencintai tanah kelahirannya.
Penulisan sejarah ini bukan hanya bentuk penghargaan kepada para leluhur dan tokoh masyarakat terdahulu, melainkan juga pengingat bagi generasi muda agar tetap menjaga nilai-nilai kebersamaan, gotong royong, serta kecintaan terhadap agama, ilmu, dan tanah air. Harapan besar, sejarah ini bisa menjadi bekal dan inspirasi untuk terus membangun Loang Tuna yang lebih baik, berdaya, dan bermartabat.
Ucapan Terima Kasih
Dengan penuh hormat dan rasa syukur, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para narasumber yang telah memberikan informasi, cerita, dan kenangan berharga dalam penyusunan sejarah ini:
▪︎ Sayyid Abdurrahman Al-Gadri, atas keteladanan, ilmu, dan perjuangan dakwah yang menjadi pondasi keislaman masyarakat Loang Tuna.
▪︎ Muhammad, Kepala Desa Banjar Sari, atas wawasan pemerintahan dan dukungan dokumentasi.
▪︎ Wan Feiruz Al-Gadri, S.Pd, atas kontribusi pengetahuan dan pandangan dari sisi pendidikan dan sosial.
▪︎ H. Jamaluddin Nur, Amaq Yadi/Udin, Amaq Mahla/Nuriah, Amaq Sirwan/Napsiah, atas kesaksian sejarah lokal dan nilai-nilai budaya yang dibagikan.
▪︎Nasrul Hamdi, S.Pd (Kadus Banjar Getas) dan Rizal Efendi, S.Pd.I, atas data-data kekinian serta keterlibatan aktif dalam pembangunan dusun.
▪︎Amaq Mustirin (alm.), tokoh masyarakat Teros yang telah berjasa di masa lampau.
▪︎Guru Hamidi (Guru SDN 1 Teros), atas kontribusi dalam bidang pendidikan dan pembentukan karakter generasi muda.
Tanpa kebaikan hati dan semangat kebersamaan dari para tokoh ini, sejarah Loang Tuna tidak akan dapat terdokumentasi dengan baik. Semoga segala amal, ilmu, dan jasa-jasa para narasumber dicatat sebagai kebaikan yang terus mengalir.
Biografi Penulis
Abdul Hayyi, S.Pd.I adalah putra daerah asal Loang Tuna, Lombok Timur. Ia menempuh pendidikan tinggi di Institut Agama Islam Hamzanwadi Pancor, Fakultas Tarbiyah, Jurusan Pendidikan Agama Islam, hingga berhasil meraih gelar Sarjana Pendidikan Islam. Sebelumnya, ia merupakan lulusan Madrasah Aliyah Azzuhriyah Hamzanwadi Tanjung pada jurusan Bahasa Indonesia.
Semasa menempuh pendidikan, ia aktif dalam berbagai kegiatan akademik dan lomba. Salah satunya adalah KADARKUM (Keluarga Sadar Hukum), sebuah ajang kompetisi yang diselenggarakan oleh Kabag Hukum Kabupaten Lombok Timur, di mana ia berhasil meraih Juara I Tingkat Kabupaten dan Juara III Tingkat Provinsi yang diadakan oleh Kanwil Kemenkumham NTB.
Saat ini, Abdul Hayyi tengah menggeluti dunia dokumentasi dan multimedia, khususnya dalam bentuk video dokumenter sejarah lokal. Ia juga aktif menulis dan mengelola blog pribadinya
yang berisi catatan sejarah, budaya, dan sosial masyarakat Desa Loang Tuna melalui situs:
π http://loangtuna.blogspot.com
Blog tersebut terbuka untuk umum dan dapat dijadikan rujukan atau referensi bagi siapa saja yang ingin mengenal lebih dalam sejarah dan perkembangan Desa Loang Tuna.
✍️ Kini, selain menulis sejarah lokal dan budaya desa, Abdul Hayyi sedang menjalani lembaran baru sebagai pekerja sawit di Malaysia. Dari ladang panas, keringat dan lelah, ia menulis catatan hidupnya — tentang kerja keras, hemat, menabung emas, dan membangun masa depan keluarga sedikit demi sedikit.
Blog ini bukan hanya tempat berbagi cerita, tapi juga ruang untuk menyampaikan bahwa orang biasa pun bisa membangun hidup luar biasa — dengan kesadaran, kesabaran, dan ketekunan.
Dari kampung kecil Loang Tuna, hingga kebun sawit di negeri seberang, ia percaya:
"Rezeki bisa dicari ke mana saja, tapi arah hidup harus tetap dijaga."
πPenulis Meminta Saran dari Pembaca
Sebagai penulis, saya menyadari bahwa karya ini tentu tidak luput dari kekurangan, baik dalam penyusunan data, bahasa, maupun kedalaman informasi. Buku ini merupakan langkah awal untuk mendokumentasikan sejarah Desa Loang Tuna sebagai warisan pengetahuan bagi generasi sekarang dan yang akan datang.
Untuk itu, saya dengan rendah hati membuka ruang bagi pembaca yang memiliki saran, masukan, koreksi, atau tambahan informasi agar penyempurnaan dapat terus dilakukan ke depan.
Silakan kirimkan saran Anda melalui:
π§ Email: abdulhayyi.loangtuna@gmail.com
π Blog: http://loangtuna.blogspot.com
π WhatsApp : [+62877 5435 0719]
Setiap masukan sangat berarti bagi saya, baik sebagai penulis maupun sebagai warga yang turut mencintai sejarah desanya.
Terima kasih atas perhatian, partisipasi, dan doa dari seluruh pembaca. Semoga Allah ο·» memberkahi kita semua dalam menjaga nilai-nilai sejarah, budaya, dan persatuan.
Hormat saya,
Abdul Hayyi, S.Pd.I
Komentar
Posting Komentar