Kisahku Di Perantauan.
Bab 1: Anak Petani yang Menantang Takdir
Aku, Abdul Hayyi, lahir dari keluarga sederhana di sebuah kampung kecil bernama Loang Tuna, sebuah desa yang terletak di Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Hidupku dimulai dari akar kesederhanaan yang membentuk cara pandang dan semangat juangku hingga hari ini.
Aku adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Kedua kakakku sudah menikah dan memiliki kehidupan masing-masing. Ayah dan ibuku adalah petani yang sehari-hari bekerja keras di sawah.
Waktu kecil, aku belajar hidup dari ketabahan mereka. Melihat ayah pulang sore dengan tangan penuh lumpur, dan ibu yang menyisihkan uang belanja demi membayar uang sekolahku, menanamkan satu keyakinan dalam hatiku:
Aku harus keluar dari lingkaran ini. Aku harus memutus rantai kemiskinan keluarga.
Tahun 2010, aku memberanikan diri kuliah di Fakultas Tarbiyah, Jurusan Pendidikan Agama Islam. Menjadi sarjana adalah impian yang dulu terasa jauh seperti langit — tapi perlahan aku capai, langkah demi
langkah, dengan sisa tenaga dan sisa uang yang kami punya.
Empat tahun berlalu, aku wisuda tahun 2014. Saat namaku dipanggil dan jubah wisuda membalut tubuhku, aku lihat mata ayah dan ibu berkaca-kaca di kursi tamu.
Hari itu, aku bukan sekadar jadi sarjana. Aku menjadi harapan.
Namun kehidupan tak seindah upacara kelulusan. Setelah lulus, aku melamar ke sekolah-sekolah sebagai guru honorer. Aku pikir gelar sarjana akan membuka pintu, tapi tak ada yang terbuka. Satu tahun aku menganggur. Itu masa paling sunyi dan membuatku merasa gagal.
Tahun 2016, aku ambil keputusan besar: merantau ke Arab Saudi. Langkah itu bukan karena aku ingin menjadi kaya raya — tapi karena aku tidak ingin membebani ibu bapakku lebih lama.
Aku pergi ke Jakarta untuk proses keberangkatan. Lima bulan lamanya aku tinggal di penampungan salah satu perusahaan penyalur. Tanpa kerja, tanpa pemasukan. Untuk makan, aku terpaksa meminta kiriman uang dari orang tuaku yang bahkan hidupnya sendiri susah. Mereka tetap mencari cara agar aku bisa bertahan di Jakarta, padahal mereka hanya petani. Setiap kali ibu menelepon, suaranya pelan tapi penuh harap:
"Nak, kapan berangkatnya? Kami selalu doakan ya…”
Dan setiap kali itu pula aku menahan tangis, karena aku pun tidak tahu jawabannya.
Hari-hariku diisi dengan nongkrong bersama teman-teman seperjuangan. Tapi hatiku selalu gelisah. Aku di Jakarta, tapi rasanya seperti tersesat.
Namun di dalam diriku, masih ada cahaya kecil. Cahaya itu bernama harapan.
Cahaya itu yang menuntunku untuk tidak menyerah.
Bab 2: Tertahan, Terluka, Tapi Tak Tergantikan
Jakarta, 2016. Sudah lima bulan aku terjebak dalam ketidakpastian. Satu per satu kawan-kawan dari daerah lain mulai berangkat, sementara aku dan beberapa teman dari Lombok Timur masih terdiam dalam penantian. Tidak ada kabar, tidak ada kepastian. Yang ada hanya harapan yang semakin tipis dan biaya hidup yang semakin menipis.
Barulah kemudian kami tahu: berkas kami tidak diajukan. Petugas lapangan PT yang membawa kami dari Desa Suralaga — seorang tokoh masyarakat yang juga pembimbing jamaah haji — tidak menyerahkan berkas kami ke pusat.
Selama dua bulan ia pergi ke Makkah untuk mendampingi jamaah haji, meninggalkan kami tanpa informasi dan kepastian.
Waktu yang seharusnya cukup 3 bulan, berubah jadi 5 bulan penuh kecemasan.
Aku masih ingat rasa sedih saat teman-teman dari daerah lain membawa koper, siap terbang. Sementara aku hanya bisa menatap langit Jakarta dan bertanya:
"Kapan giliranku, ya Allah?"
Tapi aku tidak marah. Aku tidak dendam. Aku hanya diam. Karena dalam diam itu, aku lebih sering berbicara kepada Tuhan
๐ Kabar Gembira di Tengah Luka
Dua bulan berlalu, petugas lapangan kami akhirnya kembali ke Indonesia dan segera mengurus berkas. Waktu berjalan lagi, menunggu tiga bulan lagi — tapi kali ini berbeda. Kali ini ada cahaya di ujung terowongan.
Dan pada suatu hari yang tak akan pernah aku lupakan…
๐ Namaku dipanggil.
"Abdul Hayyi, hadir!"
Suara itu keluar dari daftar peserta yang akan mengikuti PAP — Pembekalan Akhir Pemberangkatan — di BP2TKI Jakarta.
Hatiku serasa terbang. Setelah sekian lama tertahan, akhirnya waktuku tiba juga.
Aku langsung menghubungi ibu dan bapak di kampung. Suara ibu terdengar lembut seperti biasanya, tapi aku tahu ada air mata haru yang ikut mengalir.
"Alhamdulillah, Nak. Jaga kesehatanmu. Kami doakan kamu sampai tujuan dengan selamat." Itu saja. Singkat, tapi doanya dalam dan menyentuh kalbu. Di saat orang lain sudah berangkat dan aku tertinggal, Tuhan tidak meninggalkanku.
Dia hanya menunda — agar aku belajar lebih sabar.
✍️ Bab 3: Langkah Pertama di Negeri yang Tak Kukenal
Setelah sekian lama menunggu, hari yang kutunggu akhirnya tiba. Aku, Abdul Hayyi, anak petani dari Desa LoangTuna, Lombok Timur — naik pesawat untuk pertama kalinya meninggalkan tanah air, dengan satu tujuan: Arab Saudi.
Perjalanan dari Jakarta menuju Riyadh memakan waktu sekitar 9 jam. Kami transit di Dubai sebelum melanjutkan penerbangan ke Bandara King Khalid, penerbangan ke Bandara King Khalid, Riyadh. Mataku tak pernah lepas dari jendela. Di balik kaca itu, aku meninggalkan tanah kelahiran, orang tua, dan semua hal yang selama ini akrab bagiku. Aku membawa bekal paling penting: tekad dan harapan.
๐ Dunia Baru: Serba Asing, Serba Membingungkan
Sesampainya di Riyadh, kami disambut oleh seorang pria Suriah — Mudir (kepala restoran) — yang juga mewakili majikan kami. Majikanku berasal dari Suriah, datang ke Arab Saudi untuk membuka bisnis toko sembako dan restoran.
Kami diberi waktu istirahat dua hari. Hari ketiga, kami langsung menjalani tes kesehatan (medical) — standar awal bagi setiap pekerja asing. Hari keempat, aku resmi memulai pekerjaan.
Tapi sejak hari pertama, aku sadar: Bahasa adalah tembok yang mengurungku.
Aku tidak bisa bahasa Arab. Dan di restoran tempatku bekerja, hampir semua pekerja berasal dari negara lain:
๐ต๐ฐ Pakistan
๐ฆ๐ซ Afghanistan
๐ง๐ฉ Bangladesh
๐ฎ๐ณ India
๐ธ๐พ Suriah
๐พ๐ช Yaman
๐ช๐ฌ Mesir
๐ธ๐ฉ Sudan
Dari seluruh staf, hanya aku dan satu orang Indonesia lainnya. Aku merasa seperti titik kecil yang hilang di antara kerumunan orang-orang asing.
๐งน Tugas Pertamaku: Belajar Merendah
Aku ditugaskan sebagai petugas kebersihan. Membersihkan lantai, menyapu, mengepel merapikan bahan-bahan makanan, hingga memasukkan daging dan sayuran ke lemari pendingin besar. Kadang aku juga membantu menyiangi sayur atau cuci peralatan dapur.
Tidak ada yang istimewa dari tugas itu. Tapi bagiku, pekerjaan itu mulia. Karena itu adalah tangga pertama menuju perubahan hidup.
Aku ingat setiap sore, kakiku pegal, tangan bergetar, dan hatiku lelah karena tidak bisa berbicara lancar. Tapi aku tidak menyerah.
Setiap malam aku berdoa:
"Ya Allah, jadikan ini awal dari rezeki yang halal dan berkah untuk keluargaku di kampung."
✍️ Bab 4: Hari-hari di Tanah Hijrah
Setiap pagi pukul 10.00, aku memulai langkah dari tempat tinggal menuju tempat kerja — sebuah restoran milik orang Suriah di Riyadh. Negeri ini panas, asing, dan penuh tantangan. Tapi satu hal yang membuatku kagum sejak awal adalah suasana keislamannya yang sangat kental.
๐ Ketika Azan Memanggil, Semua Berhenti
Di negara ini, setiap azan yang berkumandang adalah tanda semua aktivitas dihentikan. Restoran tempatku bekerja akan langsung ditutup, pelanggan dibiarkan menunggu, dan kami — para pekerja — segera menuju masjid terdekat untuk salat berjamaah.
Aku merasakan sesuatu yang berbeda.
Seolah waktu dan dunia diberhentikan hanya untuk Allah.
Di tengah sibuknya dunia, kami tetap berpaling kepada langit. Sholat adalah jeda yang memberi napas rohani di antara rutinitas yang melelahkan.
๐ Pelayanan dan Perantauan
Setelah sholat, kami kembali membuka restoran. Kadang aku bantu di dapur: menyiapkan makanan, memotong sayuran, menata daging, atau menyajikan pesanan.
Makanan favorit pelanggan adalah nasi kuning dan kebab daging. Bau rempahnya menyengat, aromanya akrab.
Sesekali, pelanggan dari Indonesia datang makan. Saat itu, rasa asing yang biasanya menyelimuti hati perlahan hilang.
Saling sapa dalam bahasa ibu:
"Dari Lombok, ya bang?"
"Iya, saya kerja di sini."
Itu cukup membuat hati hangat sejenak di negeri yang jauh dari kampung halaman.
๐ Malam yang Panjang, Tapi Penuh Doa
Saat matahari tenggelam dan waktu maghrib tiba, aku kembali ke masjid.
Setelah sholat, biasanya aku istirahat sebentar, lalu kembali lagi ke restoran
untuk shift malam sampai pukul 12.00 malam.
Di akhir hari, saat tubuh lelah dan semua orang tertidur, aku tak pernah lupa menelpon orang tuaku di Lombok Timur.
Mendengar suara mereka — meskipun hanya sebentar — sudah cukup membuatku merasa pulang.
Aku jauh dari rumah, tapi aku selalu dekat dengan doa ibuku.
Di seberang telepon, ada cinta yang selalu menyambutku pulang setiap malam.
Menjelang akhir tahun pertama saya bekerja, ada satu hal baru yang mulai saya lakukan. Selain tugas utamaku membersihkan dan merapikan bahan-bahan restoran, aku mulai sering melirik ke arah tempat pemanggangan ayam dan kebab. Setiap hari, aku melihat kawan dari Nepal dengan cekatan memanggang daging, membumbui, dan menyiapkan pesanan pelanggan.
Sambil membersihkan lantai atau mengatur sayuran,
✍️ Bab 5: Riyal, Sawah, dan Cinta yang Tumbuh dari Facebook
Setiap akhir bulan, saat gajian tiba, aku menyiapkan 1.500 Riyal untuk dikirim ke kampung halaman di Desa Loang Tuna, Lombok Timur. Itu bukan angka kecil. Tapi bagiku, bukan jumlahnya yang paling penting — melainkan untuk siapa uang itu digunakan.
๐ธ Kiriman yang Menjadi Kehidupan
Setengah dari kiriman itu ditabungkan atas namaku oleh bapakku, setengah lainnya dipakai untuk kebutuhan keluarga.
Tak lama kemudian, dari hasil tabungan itu, bapakku menyewa sebidang sawah yang digadai oleh kawannya — sesama petani.
Bapakku mengolahnya sendiri. Dengan tangan yang menua oleh cangkul dan lumpur, ia tetap berdiri kokoh, karena tahu anaknya yang di Arab Saudi sedang mengulurkan tangan dari jauh.
“Setiap hasil panen dari sawah itu adalah bukti bahwa rezeki bisa datang dari doa dan kerja keras lintas negara.”
๐ Rindu Seorang Lelaki
Di balik semua kesibukan, rasa sepi sering menghampiri malam-malamku.
Aku rindu seseorang yang bisa kutelpon bukan hanya untuk menanyakan kabar, tapi untuk berbagi hati dan harapan.
Hingga suatu malam, aku membuka grup Facebook alumni kampus IAIH Pancor.
Sebuah grup sederhana — tapi ternyata Allah menulis takdir besar di dalamnya.
๐น Perempuan Itu Hadir
Mataku berhenti pada satu nama: seorang perempuan alumni juga, tahun lulusnya sama, 2014.
Aneh — kami satu kampus, satu angkatan, tapi tak pernah bertemu.
Mungkin karena aku kuliah pagi dan dia masuk siang. Saat aku pulang, dia baru datang. Bahkan di acara wisuda pun, kami tak saling mengenal.
Aku kirim pesan lewat Messenger.
Satu sapaan sederhana — dibalas dengan ramah.Obrolan pun terus berlanjut. Kami bicara soal kuliah, tentang dosen-dosen, tentang kampung halaman, dan akhirnya... tentang mimpi masa depan.
Hati ini terasa lebih hangat.
๐ฑ Malam-malam yang Tak Lagi Sepi
Setiap malam, aku semangat menunggu waktu video call. Kami saling mendoakan, saling bertanya kabar, dan saling menguatkan. Jarak ribuan kilometer seolah tak lagi terasa.
“Di saat aku bekerja membersihkan restoran, dia menunggu kabar.
Di saat aku kelelahan, senyumnya hadir dari layar kecil HP-ku.
Allah mempertemukan dua hati yang dulunya tak pernah berpapasan — di waktu yang paling tepat.”
✍️ Bab 6: Doa di Tanah Suci
Tahun kedua aku bekerja di Riyadh, ada satu keinginan yang sejak lama kupendam:
Umrah. Sebuah impian masa kecil, cita-cita sejak pertama kali aku belajar membaca tentang Makkah dan Madinah dalam buku pelajaran agama.
๐ Izin yang Dijawab Langit
Dengan penuh harap, aku meminta izin cuti kepada majikanku. Alhamdulillah, beliau mengizinkan. Aku ambil cuti dua hari — hanya dua hari, tapi cukup untuk menyentuh mimpi yang sangat besar.
Malam hari menjelang magrib, kami — aku, seorang teman dari Lombok, dan satu lagi orang Pakistan rekan kerja — berangkat menuju Makkah. Kami naik Bus, menyusuri jalanan malam Arab Saudi. Hati berdebar tak karuan.
๐ Subuh di Masjidil Haram
Kami sampai menjelang subuh.
Aku langsung menuju Masjidil Haram, memakai kain ihram putih, tubuh bergetar karena haru — inilah rumah Allah yang selama ini hanya kulihat dari TV dan buku.
Sholat subuh berjamaah di sana adalah pengalaman spiritual yang tak akan pernah kulupakan.
Udara sejuk. Lantunan doa dari berbagai bangsa. Semuanya bersujud pada satu Tuhan.
๐ Umrah Pertamaku
Pagi itu aku mulai rangkaian ibadah umrah:
Tawaf mengelilingi Ka'bah tujuh kali
Sa’i antara Shafa dan Marwah
Dan akhirnya tahallul sebagai penutup
Langkah demi langkah terasa ringan, tapi hati begitu berat oleh rasa syukur dan harapan. Di tangan kiriku, aku menggenggam foto kedua orang tuaku.
Di depan Ka’bah, aku menengadah tangan:
"Ya Allah, Kau telah memanggilku ke rumah-Mu. Maka aku mohon, panggillah juga kedua orang tuaku. Berikan mereka kesempatan melihat Ka’bah dengan mata kepala mereka sendiri, dan sujud di atas lantai masjid ini..."
๐ง Zamzam dan Zikir
Kami menyewa hotel sederhana. Tapi waktu lebih banyak kuhabiskan di Masjidil Haram — berzikir, membaca doa, dan menikmati keheningan di antara jutaan doa yang naik ke langit.
Sebelum pulang, kami minum air zamzam sepuasnya dan membeli oleh-oleh.
Di pasar sekitar Makkah, banyak pedagang Arab yang lancar berbahasa Indonesia — menawarkan dagangan mereka dengan logat yang bikin senyum-senyum sendiri.
๐ Kembali ke Riyadh
Dua hari berlalu seperti mimpi.
Kami kembali ke Riyadh dengan hati yang penuh rasa syukur dan semangat baru.
Perjalanan itu hanya dua hari, tapi maknanya akan kubawa sepanjang hidupku.
Di sana aku bukan hanya menjalankan umrah — aku menitipkan harapan, doa, dan cinta untuk keluargaku, terutama orang tua.
✍️ Bab 7: Tahun Ketiga: Luka yang Tertahan
Akhir tahun kedua masa kerjaku, aku sampai pada satu titik keputusan:
menyambung kontrak kerja.
Bukan karena aku tidak ingin pulang. Justru sebaliknya — aku sangat ingin.
Namun, realita bicara lain. Tabungan belum cukup, impian belum tergapai.
Jika aku pulang, akan sulit untuk bisa kembali lagi. Biaya, proses, dan waktu sangat besar.
๐ Kabar untuk Ibu
Aku menelepon ibuku dan memberi kabar:
“Bu, insyaAllah anakmu lanjut kerja setahun lagi…”
Terdengar suara lirih dari seberang telepon.
Ibu tidak menangis, tapi aku tahu — ada rindu yang ditahan.
Beberapa hari setelah itu, aku mendengar kabar bahwa ibu mulai sakit.
Tubuhnya lemah, tapi selalu memaksakan diri bicara dengan lembut kalau aku menelepon.
Dia ditemani bapakku dan adikku perempuan di rumah kecil kami di Desa Loang Tuna.
Hatiku benar-benar hancur.
Ingin rasanya pulang walau hanya cuti seminggu.
Majikanku bahkan sempat menawarkan izin libur.
Tapi tabungan belum cukup.
Tiket pesawat mahal.
Jika pulang sekarang, mungkin tak bisa kembali lagi.
๐ค Bertanya pada Teman
Aku mulai bertanya-tanya kepada teman kerja.
Ada yang menyarankan aku pulang, ada yang bilang bertahan saja.
Tapi pada akhirnya, aku memilih:
menahan diri. Bertahan satu tahun lagi.
Dan itu menjadi keputusan paling berat sepanjang hidupku.
๐ Cinta yang Menangis
Aku juga menyampaikan kabar itu pada kekasihku.
Perempuan satu almamater yang kini setiap malam menjadi teman doa dan penguat hariku.
Dia menangis.
Kami belum pernah bertemu langsung, tapi ikatan batin kami sangat kuat.
“Aku ngerti kamu kerja buat masa depan, tapi hatiku sedih sekali…”
katanya lirih lewat panggilan video.
Kami saling mendoakan, saling menguatkan — dan janji kami tetap sama:
jika Allah ridha, kita akan dipersatukan setelah semua perjuangan ini.
✨ Akhir Bab 7:
Tahun ketiga bukan tentang pencapaian,
tetapi tentang kesabaran dan pengorbanan.
Aku mulai belajar, bahwa terkadang mencintai itu tidak selalu soal mendekat,
tapi justru tentang bagaimana menahan diri demi masa depan yang lebih baik.
Bab 7: Kabar Duka dari Tanah Air
Akhir tahun ketiga aku bekerja di Riyadh, kabar itu datang seperti petir di siang bolong.
Hari itu aku bekerja seperti biasa di restoran. Saat istirahat, aku membuka HP. Banyak panggilan tak terjawab—dari saudara, paman, juga keponakanku. Saat itulah mataku tertumbuk pada satu pesan yang membuat dunia runtuh seketika.
"Maafkan kami paman , Innalillahi wa inna ilaihi raji’un... Nemek sudah tiada."
Pesan itu dari keponakanku. Ibu, yang selama ini menjadi tempat aku berdoa dan berjuang, telah pergi untuk selamanya.
Tanganku gemetar. Air mata jatuh tanpa bisa aku bendung.
Semua pengorbanan dan kerja keras ini... ternyata tak sempat kubalas di hadapannya.
Saat itu juga, aku putuskan: aku harus pulang.
Kabar itu kuberikan kepada majikanku dan Mudir, kepala restoran. Mereka terkejut dan sedih.
Majikanku memelukku dan memintaku memikirkan kembali keputusanku.
"Hayyi... kamu seperti keluarga bagi kami. Kami tak ingin kehilanganmu. Tapi jika itu keputusanmu, kami hormati."
Begitu juga teman-teman kerja dari berbagai negara—Pakistan, India, Mesir—semuanya menunjukkan rasa kehilangan.
"Kamu tidak kembali lagi, Hayyi?"
"Kami akan rindu kamu di dapur."
Aku hanya bisa tersenyum kecil sambil menahan tangis.
"Ibu saya sudah tiada... tak ada lagi alasan saya bertahan lebih lama. Saya harus pulang, setidaknya untuk mendoakan beliau dari tanah yang sama."
Perjalanan pulang itu adalah perjalanan paling sunyi dalam hidupku.
Aku pulang dengan membawa luka, tapi juga dengan niat baru — bahwa perjuangan belum selesai.
Aku harus bangkit, untuk orang-orang yang masih menunggu dan berharap padaku.
Bab 8: Perempuan yang Hadir di Saat Kehilangan
Di hari kepergian ibuku, aku masih larut dalam duka.
Saking hancurnya perasaan, aku tak sempat mengabari siapa-siapa… bahkan kekasihku sendiri.
Perempuan yang selama ini setia menemaniku lewat layar ponsel, yang setia memberi semangat saat aku hampir tumbang—tidak sempat aku beritahu.
Tapi rupanya, Allah sudah menggerakkan takdir dengan caranya sendiri.
Seorang teman kekasihku, yang berasal dari desa yang sama denganku, mendengar kabar duka itu lebih dulu. Dan tanpa ragu, dia mengabarkan langsung pada kekasihku.
Tanpa pikir panjang, dia pun datang ke rumahku.
Datang bukan sekadar berkunjung, tapi datang sebagai seseorang yang peduli… yang ingin ikut merasakan kehilangan yang aku alami.
Di sana, dia bertemu dengan saudaraku.
Mereka saling berbagi cerita, saling menguatkan dalam suasana duka yang dalam.
Saat aku dengar cerita itu kemudian hari, aku tak bisa menahan air mata.
Dia, yang selama ini hanya kuhubungi lewat chat dan panggilan video, benar-benar hadir di dunia nyata—pada saat yang paling rapuh dalam hidupku.
Dan dari situ aku semakin yakin…
Dia bukan sekadar perempuan biasa. Dia adalah jawaban dari doa-doaku.
Perempuan yang tidak hanya mencintaiku
saat senang, tapi juga hadir di saat aku sedang kehilangan segalanya.
Tahun ketiga masa kerjaku pun berakhir. Setelah berbagai pertimbangan, terutama karena kepergian ibuku, aku mantap memutuskan untuk pulang ke kampung halaman.
Malam itu, aku berpamitan kepada teman-temanku di restoran. Teman-temanku yang berasal dari Pakistan dan Bangladesh membantuku dengan tulus, mengangkat koper dan barang-barangku dari lantai dua ke mobil. Salah satu dari mereka, sahabatku bernama Ilyas dari Bangladesh, bahkan mengantarku sampai ke bandara. Kami berpamitan hangat di sana. Ada rasa haru dan syukur. Aku mengabari bapak dan saudara perempuanku agar menjemputku di Bandara Internasional Lombok. Tapi... satu orang belum aku kabari—kekasihku, Rohaniah.
Sesampainya di bandara transit di Abu Dhabi, aku duduk lama menunggu penerbangan lanjutan. Entah kenapa, mungkin karena jenuh dan pikiran kosong, aku tanpa sadar mengirimkan pesan kepada Rohaniah. Padahal, biasanya pagi hari di Indonesia aku sedang tertidur, sesuai perbedaan waktu.
Tak lama, dia membalas pesanku. Heran dan bertanya,
"Kok kirim pesan pagi-pagi, biasanya tidur?"
Aku gugup. Tanpa sadar, aku berbohong kecil dan bilang baru bangun mau ke kamar mandi. Tapi hati ini makin gelisah karena menyembunyikan hal yang besar.
Lalu… datang pesan lagi dari Rohaniah,
"Aku tadi malam mimpi kamu pulang."
Hatiku bergetar. Merinding.
Apakah ini kebetulan? Atau benar-benar isyarat dari hati yang terhubung dalam doa dan rindu?
Akhirnya aku tak mampu menyembunyikannya lagi.
Dengan jujur aku membalas:
"Itu bukan mimpi, Rohaniah. Aku memang sedang pulang. Sekarang aku di bandara, transit di Abu dhbai." Sambil mengirimkan Foto saat aku di pesawat.
Dia terkejut. Saat itu dia sedang mengajar di sekolah. Tapi senyum dan bahagianya tak bisa disembunyikan. Ia bercerita bahwa sampai temannya pun bertanya, kenapa dia tiba-tiba senyum-senyum sendiri. Dan seperti itulah, kisah cinta kami berlanjut—dengan kenyataan yang lebih indah dari mimpi.
Bab 3 (lanjutan): Kepulangan yang Penuh Air Mata
Aku terbang dari Bandara King Khalid, Riyadh, menggunakan pesawat Etihad Airways. Penerbangan itu terasa sangat panjang dan hening. Di dalam pesawat aku lebih banyak diam, merenungi perjalanan hidupku yang sudah tiga tahun kulewati di negeri orang. Sesampainya di Abu Dhabi, aku transit beberapa jam menunggu pesawat lanjutan menuju Jakarta. Dan dari Jakarta, aku menunggu penerbangan terakhir ke Lombok dengan maskapai Garuda Indonesia.
Setiap transit, setiap jeda penerbangan, pikiranku dipenuhi satu hal: wajah ibuku. Tapi aku hanya bisa memeluk kenangan, bukan lagi raganya. Hati ini terasa sangat sepi di tengah keramaian bandara.
Ketika akhirnya aku tiba di Bandara Internasional Lombok, aku melihat bapakku dan saudara perempuanku sudah menunggu. Aku melangkah perlahan mendekati mereka. Kakakku dan keponakanku tersenyum haru menyambutku, tapi saat bapakku melihatku… beliau langsung memelukku erat. Tangisnya pecah tak tertahan.
Aku juga tak kuasa menahan air mata. Pelukan bapak seperti menguatkan dan meremukkan hati dalam waktu yang bersamaan. Kami menangis dalam diam. Yang ada hanya isak dan air mata yang mewakili rindu, kehilangan, dan penyesalan karena tak sempat menatap wajah ibuku untuk terakhir kalinya.
Aku pulang… tapi ibu sudah tiada. Bandara yang biasanya jadi tempat pertemuan bahagia, hari itu menjadi tempat duka yang menyayat.
Bab 4: Rumah yang Tak Lagi Sama
Setelah sampai di kampung halamanku, aku kembali ke rumah warisan orang tuaku. Kini hanya aku dan bapakku yang menempatinya. Keponakanku yang remaja lebih sering keluar rumah, mencari suasana lain yang mungkin lebih ceria. Sedangkan aku... hanya duduk di beranda rumah, memandangi pekarangan, mengenang masa-masa dulu saat ibuku masih ada. Ada hari-hari di mana aku hanya duduk termenung di dapur tempat ibuku biasa memasak. Suaranya, senyumnya, dan aroma masakannya seakan masih tercium di setiap sudut rumah. Tapi semua itu hanya kenangan. Kini, rumah ini terasa dingin… sepi dan hambar.
Aku dan bapak menjalani hari-hari dengan sederhana. Kami masak sendiri, makan berdua, dan saling menguatkan dalam diam. Namun suatu hari, bapakku bicara perlahan:
“Nak, rumah ini sekarang terasa dingin… tidak seperti dulu saat ibumu masih ada. Bagaimana kalau kamu menikah saja? Bapak punya sahabat di kampung sebelah, Desa Teros. Dia punya anak perempuan. Orangnya baik. Kamu nikah saja dengan dia. Bapak sering cerita tentang kamu ke sahabat bapak itu.”
Jantungku seketika terasa tersedak. Aku tak menyangka akan secepat ini mendengar pembicaraan tentang pernikahan. Bukan karena aku belum siap… tapi karena hatiku sudah terikat. Dengan suara tenang namun mantap, aku menjawab:
“Bapak… sebenarnya aku sudah punya perempuan yang menungguku. Kami sudah lama berkomunikasi dan saling percaya. Dia pilihan hatiku.”
Bapak terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan sambil tersenyum tipis. Tidak ada kemarahan, hanya pengertian dari wajahnya yang semakin menua.
“Kalau begitu… kalau dia pilihanmu, dan kamu sudah yakin, ya sudahlah. Jalani saja yang terbaik menurutmu.”
Aku lega. Di balik kesedihannya, bapakku tetap mendukung keputusanku. Aku tahu ia hanya ingin rumah ini kembali hangat, kembali hidup seperti dulu. Dan kini, aku mulai menyusun harapan baru: untuk segera menyatukan hidup dengan pujaan hatiku yang selama ini menungguku dalam doa dan kesetiaan.
Bab: Pertemuan Pertama, Setelah Ribuan Malam Menunggu
Setelah tiga hari berada di kampung, aku merasakan kerinduan yang tak tertahan. Bukan hanya karena baru pulang dari tanah rantau, tapi karena seseorang yang selama ini hadir di malam-malamku lewat video call — Rohaniah, perempuan yang selalu sabar menungguku, kini hanya berjarak satu kecamatan.
Aku menghubunginya lewat telepon, dan ia langsung mengajakku untuk bertemu di rumah bapaknya, tepat di samping mimbar Masjid As-Syakirin di Desa Sakra. Kebetulan, ayahnya adalah seorang marbot masjid tersebut. Anehnya, tidak ada sedikit pun rasa gugup atau takut di dalam dada. Yang ada justru perasaan tenang, seperti ingin menyempurnakan sesuatu yang sudah lama ditakdirkan.
Yang sempat membuatku bingung adalah masalah uang. Semua uang yang kubawa dari Riyadh — sekitar 15 juta rupiah — sudah aku serahkan ke bapakku. Saat aku baru pulang, bapak sempat bertanya, “Kamu bawa uang berapa?” Kujawab jujur, dan beliau langsung berkata, “Mari saya simpan buat kamu nikah nanti.” Aku lihat sendiri uang itu dimasukkan ke lemari kecil, lalu dikunci rapat. Maka, dengan sisa uang di sakuku, aku hanya mampu membelikan sepasang sandal dan sebungkus bakso untuknya. Tapi dalam hatiku, cinta dan niat baik tidak bisa diukur dari nilai pemberian.
Di perjalanan menuju masjid, dia sempat menelpon, “Kamu di mana? Aku sudah nunggu.” Aku jawab, “Sudah sampai.” Dan benar, ketika aku melangkah ke pelataran Masjid As-Syakirin, aku melihat dia berdiri
menungguku, dengan wajah teduh dan senyuman yang tak pernah aku lihat sebelumnya — kini nyata di depan mata, bukan lagi dari balik layar.
Dia lalu mengajakku masuk ke rumah kecil di samping mimbar masjid, tempat calon mertuaku tinggal dan mengabdi sebagai marbot. Kami duduk bersama, ngobrol ringan dengan bapaknya yang ramah. Di sana, aku menyadari satu hal: aku sedang berada di rumah calon istriku, perempuan yang telah menemaniku tiga tahun lamanya lewat sinyal, doa, dan kesetiaan. Karena aku baru tiga hari di rumah, kulitku masih sangat putih — dari telapak tangan hingga kaki — hasil dari tiga tahun diterpa angin dan matahari gurun Saudi. Rohaniah memperhatikanku terus, mungkin dalam hatinya heran, atau kagum, atau sekadar menenangkan dirinya bahwa semua ini bukan mimpi. Aku pun dalam hati bersyukur, “Ya Allah, Engkau telah pertemukan aku dengan perempuan yang baik, yang tidak hanya menungguku, tapi juga menerima aku apa adanya.”
B E R S A M B U N G. . . . .
Komentar
Posting Komentar